feed me
Rabu, 25 April 2012


Jakarta - Ekspor bahan tambang seperti bauksit, bijih besi, dan nikel dianggap paling mudah untuk diekspor mentah-mentah layaknya 'Tanah Air' yang dijual. Para penambang ini umumnya perusahaan lokal yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP).

Menurut pengamat pertambangan yang merupakan mantan Direktur Eksekutif Asosiasi Indonesian Mining Association (IMA) Priyo Pribadi Soemarno kenyataanya walaupun IUP tersebut dikantongi perusahaan lokal, namun di baliknya adalah investor asing terutama dari China.

"Perusahan-perusahaan nikel misalnya, yang mengajuakn izin IUP adalah lokal, tetapi dibelakangnya adalah investor luar yang mem-back up, permodalan dan operasional, yang paling banyak dari China karena butuh banyak nikel, jadi yang di depan Indonesia belakang China," katanya kepadadetikFinance, Rabu (25/4/2012)

Menurutnya sudah seharusnya pemerintah mengetahui kondisi ini. Namun karena pemerintah pusat dan daerah saling menyalahkan maka praktik semacam ini tak bisa dikontrol.

"Seharusnya jangan saling menyalahkan, sehingga tidak ada kontrol, bebas, seharusnya dijaga," katanya.

Menurutnya perlu ada cetak biru untuk mengontrol aktivitas pertambangan khususnya mineral yang bisa dijual mentah. Hal ini menyangkut rencana pemerintah melakukan hilirisasi dengan mendorong investor mengembangkan smelternya di Indonesia.

Meskipun ia menggarisbawahi tidak semua mineral itu bisa diproses semuanya di dalam negeri, namun ada yang sebagian bisa. Hal ini menyangkut market khususnya soal suplai dan permintaan, juga soal efisiensi produksi, misalnya pengolahan bijih besi, nikel dan sebagainya harus menggunakan listrik yang murah agar bisa bersaing.

"Kalau timah itu di Bangka Indonesia produsen nomor 2, sehinga Indonesia kalau membatasi pengiriman bisa dikontrol oleh Indonesia, tapi kalau yang lain nikel tak bisa kontrol, negara lain banyak punya kita hanya urutan 5," katanya.

referensi :




Filed Under:

0 komentar:

Posting Komentar