Pegawai Ditjen Pajak
Didakwa Minta Ratusan Juta kepada Asep Hendro
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa
pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Pargono Riyadi karena meminta suap dari PT
Asep Hendro Racing Sport milik Asep Yusuf Hendra Permana alias Asep Hendro.
Pada
persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (1/8/2013), JPU
KPK Supardi, dalam surat dakwaan menyebutkan bahwa perbuatan terdakwa yang
meminta uang Rp 600 juta adalah perbuatan yang melanggar undang-undang
pemberantasan tipikor.
"Perbuatan
terdakwa meminta uang kepada Asep Yusuf Hendra Permana sebesar Rp 600 juta
hingga menjadi Rp 125 juta dengan ancaman Asep Yusuf Hendra Permana akan
dijadikan tersangka perkara pajak jika tidak memenuhinya, serta menerima uang
sebesar Rp 75 juta dari Asep Yusuf Hendra Permana adalah bertujuan untuk
menguntungkan diri sendiri yaitu menguntungkan terdakwa," kata JPU
Supardi.
JPU
membeberkan pada 2007, Asep Hendro, sebagai wajib pajak pribadi pada KPP
Pratama Garut, melakukan SPT Pembetulan terhadap pajak tahun pajak 2006, yang
sebelumnya menggunakan faktur-faktur yang diterbitkan PT. Prama Cipta Kemilau
dan telah membayar kekurangan pajak tahun 2006 ke KPP Pratama Garut sebesar Rp
334.020.000,00.
Pada
10 September 2012, Pargono ditunjuk sebagai supervisor dalam pemeriksaan bukti
permulaan pajak atas nama PT PCK yang diduga menerbitkan faktur pajak fiktif
untuk digunakan oleh para wajib pajak termasuk wajib pajak pribadi Asep Hendro.
Desember
2012, Pargono memanggil Asep. Pargono meminta Asep membawa dokumen SPT Masa PPN
lengkap dengan pembetulannya, serta faktur yang diterbitkan oleh PT PCK.
Asep
kemudian memerintahkan Manajer Keuangan PT AHRS, Sudiarto Budiwiyono, dan
Rukimin Tjahyanto alias Andreas mengurusi pajak pribadi Asep tahun 2006,
berikut pembetulannya. Asep meminta keduanya mewakilinya memenuhi panggilan
Pargono.
Di
Kanwil DJP Jakarta Pusat, Sudiarto dan Rukimin, menemui Pargono dan Suryanta
rekan terdakwa. Sudiarto menyampaikan SPT pembetulan terhadap SPT Masa PPN
tahun pajak 2006 atas nama Asep telah disetor ke KPP Garut.
Sudiarto
juga menyerahkan dokumen berupa fotocopy bukti setor PPN, print out dari Sistem
Perpajakan Nasional yang berisi laporan normal, laporan pembetulan PPN, tanggal
dan jumlah setor PPN normal berikut pembetulan yang diminta oleh KPP Garut
Pratama.
"Saat
itu terdakwa menyampaikan pula bahwa dokumen lainnya yang diminta sesuai surat
panggilan agar diserahkan sendiri oleh Asep Yusuf Hendra Permana," kata
JPU.
Maret
2013, Pargono menelepon Sudiarto dan menyampaikan bahwa posisi Asep bisa
dikatakan ringan dan bisa dikatakan berat.
"Maunya
penyelesaian seperti apa, dan apabila sudah dibayar agar bukti pembayarannya
diserahkan kepada terdakwa," kata JPU.
Pargono
menanyakan kepada Sudiarto apakah Asep mau dijadikan tersangka atau cukup
sebagai saksi. Sudiarto menjawab agar Asep jadi saksi saja.
Pargono
juga menyampaikan bahwa kapasitas Asep adalah turut serta dengan ancaman
hukuman pidana denda 400 persen dari pajak kurang bayar, sehingga pidana denda
seluruhnya mencapai Rp 1,2 miliar.
"Oleh
karena itu, sebagai kompensasi agar Asep Yusuf Hendra Permana tidak menjadi
tersangka, terdakwa meminta kepada Sudiarto Budiwiyono supaya Asep Yusuf Hendra
Permana memberikan uang sebesar Rp 600 juta kepada terdakwa," kata JPU.
Opini
: kasus ini mebuktikan bahwa mental para pegawai negeri sipil masih sangat
rendah, padahal pegawai negeri sipil setiap tahunnya menerima kenaikan gaji
yang di sesuaikan dengan inflasi, belum lagi fasilitas rumah dinas, kendaraan
dinas, asuransi kesehatan, serta tunjangan yang lainnya.
Khusus
pegawai di departemen keuangan bahkan pemerintah memberikan remunerasi yaitu
tambahan gaji agar para pegawai di departemen keuangan tidak melakukan korupsi,
mengingat kekuasaan dan jabatan yang rentan terhadap peyalahgunaan wewenang.
Apalagi sektor pajak merupakan sumber pemasukan Negara terbesar, hampir 700
triliun APBN berasal dari sektor pajak dan cukai.
Masih
ingat kah kita kasus gayus yang merupakan pegawai negeri golongan 3A di
direktorat jenderal pajak, tetapi memiliki asset hingga ratusan miliar, padahal
penghasilan perbulannya hanya sekitar 9 - 12 juta juta. Tampaknya kasus pargono
dengan pengusaha asep hendro membuktikan bahwa mungkin masih banyak oknum
pegawai direktorat jendral pajak semacam gayus tambunan - jilid 4, 5, 6 dan seterusnya
yang belum tertangkap.
Dampak
terburuk kasus ini adalah turunnya kepercayaan masyarakat, pada umumnya banyak
masyarakat yang belum paham dan mengerti tentang peraturan perpajakan di
Indonesia, sehingga mereka jadi takut berurusan dengan pajak, karena mereka
takut di jadikan tersangka, yang intinya akan masuk penjara. padahal hal
itu hanya akal – akalan semata para
pegawai pajak untuk kepentingan pribadi.
Modus
yang paling sering di gunakan para oknum pajak adalah memanipulasi laporan
pajak perorangan dan badan dan mengancam akan membawa ke jalur hukum, sehingga
jalan damai yang tentu akan di pilih dengan imbalan sejumlah uang agar kasusnya
di tutup.
Saya
harap KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan tidak berhenti kepada pargono,
akan tetapi kepada rekan kerja dan para atasan. Mungkin saja akan terungkap
kasus lain yang mungkin lebih besar
jumlahnya.
Saya
berharap pemerintah segera memperbaiki sistem perpajakan, mulai dari perekrutan
para pegawai pajak, dan perbaikan system, peraturan perundangan dan hal yang
paling penting adalah pengawasan, sebaiknya pemerintah membuat badan independen
di luar departemen keuangan, yang bertugas mengawasi lalu lintas keuangan.
Sehingga nantinya uang hasil pajak tidak masuk ke kantong pribadi oknum pegawai
pajak, tetapi dapat di gunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Saya
optimis jika pemerintah melakukan perbaikan dengan benar, 5 – 10 thn ke depan
maka pendapatan dari pajak sepenuhnya dapat di gunakan untuk kemakmuran
masyarakat. Dan saya percaya bahwa masih banyak orang baik, jujur dan benar di
direktorat jendral pajak.
Filed Under:
Rudi Rubiandini dan Pengkhianatan Kaum Intelektual
"Di rumah A ditemukan uang sebesar US$ 200 ribu," ucapnya.